Sabtu, 13 Agustus 2011



hari itu, 30 mei 2011, tidak seperti yang direncanakan. benar, menunggu adalah aktivitas yang paling membosankan, kebanyakan orang berkata. sekian detik berlalu tanpa arti, menanti angkutan yang akan membawa kami ke sebuah kota nan jauh di barat kota malang, Jogja namanya. tak terhingga detik berlalu, yang akhirnya berujung pada hembusan nafas yang melegakan hati. mesin berjalan yang diselimuti baju besi itu datang setelah tiga jam menunggu di taman kampus, kami biasa menyebutnya taman E6.

waktu menunjukkan pukul 09.00. semua kesal yang ada dalam benak kami hilang begitu saja, dan dengan bibir tersenyum, kami menaiki mesin berbaju besi itu, kami menyebutnya mobil. kota demi kota kami lewati. gemuruh kicauan menggema dari dalam. ocehan yang terurai dari bibir-bibir melupakan semua sesal di pagi yang membosankan. rasa senang memenuhi hati. canda tawa bergemuruh bak gunung meletus yang memekikkan telinga. betapa senangnya hati, hingga gurauan-gurauan membuat kami terlena, sampai waktu pun terlupa. tak terasa sore datang secara tiba-tiba tanpa izin. karena tak kuasa melarang sore yang datang, kicauan kami terhenti seraya menghempaskan tubuh yang terkulai lemah di atas bangku cukup empuk dengan berselimut kain tipis berwaran biru yang telah ada.

waktu telah menghentikan kicauan keramaian. suasana hening tenang damai mendera bisu ruangan. hanya bising mesin terdengar halus dari dalam. jarum jam berputan mengelilingi angka yang melingkar di atas piring. begitu cepat waktu berjalan. tanpa disadari, hari berubah menjadi gelap. sorotan jahaya berkedip di pinggir-pinggir jalan. satu persatu kelopak mata kami terbuka dengan sendirinya. melihat suasana jalan yang ramai akan kendaraan yang melintas, kami baru sadar bahwa ini adalah kota yang kami tunggu. perjalanan yang menghabiskan waktu selama sembilan jam itu terhenti pada sebuah titik yang beralamat di jln. Pakelmulyo Umbulharjo Yogyakarta, NAVILA, penerbit yang banyak menerbitkan karya-karya sastra timur tengah.

sebelum kami samapai di kantor navila, sempat kami bingung mencari-cari alamat kantor penerbitan tersebut. bermodal mulut, kami bertanya kesana kemari demi menggali informasi tempat dimana tujuan akhir kami. syukur alhamdulillah tidak selang lama, letak alamat yang kami cari-cari diketahui. saiq memacu laju mobil berputar balik kearah yang berlawanan. akhirnya, dibalik gang sempit yang tidak dapat dilalui dua mobil yang berlawanan, berdiri tegak bangunan yang beratap liat berdinding tanah berpagar besi warna hijau, itulah kantor navila.

mas Ardi, salah satu karyawan penerbit navila, telah menanti kami. ia berdiri di depan kami, menyambut dengan memberikan senyuman sebagai tanda ucapan selamat atas kedatangan kami. sapaan pertama itu begitu hangat. keakraban menjalar kepada kami. ternyata ia mudah bergaul dengan kami.

sebelum kami menikmati suasana kantor yang penuh dengan berbagai macam ilmu, kami menurunkan barang bawaan yang meringkuh-riuh di bagasi. semua sibuk membawa barang yang cukup berharga itu. menenteng sempoyongan karena beban tas yang menikmati letih lunglai pundak tangan kami, bagai orang mabuk berjalan dengan kaki terseret sebelah karena tak kuasa membawa beban diri. seperti itulah gambaran nikmat letih yang mendera kami.

sampai juga di kantor navila. ratusan buku menghiasi dinding. tumpukan-tumpukan kertas berilmu yang mencapai tinggi puluhan "cm" itu berdiri rapi di sekeliling kami. namun kami hanya bisa melihat dengan mata sayup sambil menaruh tubuh di atas karpet yang telah membentang di ruang tamu. sedikit kata terucap dari bibir kami, sebagai penyegar suasana agar lebih akrab dengannya. ia bilang pada kami bahwa untuk sementara laki-laki istirahat di kos, sedang perempuan mencari kos malam (20.00) itu juga. seketika itu juga, mas Ardi mengantar temen-temen wanita memilih kos.

diselal-sela kepergian mas Ardi dan temen-temen wanita, kami (laki-laki) beristirahat sambil menunggu mas Ardi. disitulah salah satu teman, si Afif, bingung mencari tas yang berisi leptop toshiba M645 yang sengaja ia bawa dari rumah. rasa bingung semakin mengelabui fikirannya, setelah mendengar jawaban dari semua teman bahwa tidak ada satupun yang menenteng leptop milik afif. ia berkeyakinan bahwa leptop itu masih berada dalam mesin berbaju besi yang mengantarnya tadi. segera saja ia menelfon saiq. hatinya agak sedikit lega setelah mengetahui bahwa leptopnya masih bersimpuh di dalam mesin berbaju besi.

dengan ikhlas, mas Ardi meminjam sepeda dan mengantarkannya ke jalan mangkubumi. leptop itu masih selamat, tak berkurang sedikitpun. "lega" itulah gambaran yang digunakan untuk mengungkapkan isi hatinya saat itu. ia pulang dengan membawa senyuman hati yang tadinya sempat membisu.

keadaan menjadi normal. kami berusaha menenangkan syaraf-syaraf yang tidak berhenti bekerja, dengan harapan hari esok lebih bermakna di kota yang baru kami tapaki.
mimpi menjadi pelabuhan terakhir malam itu.

BY: Afif Kholisun, KimLom, Arif, Saiful
Selasa, 24 Mei 2011
PENGETAHUAN
Ust Ibnu
AL Qur'an & Arab